1 Agu 2010

 

Sepenggal Episode Cinta

Pertama Mengenalnya

Allah mempertemukan kami sejak masih duduk dibangku SMP. Sekolah yang meskipun areanya terhitung kecil namun termasuk salah satu sekolah favorit yang ada di kota kami. Dan karena hal awal itu pulalah yang membuat kami sering kali berpapasan diluar jam pelajaran, saling mengenal satu dan lainnya walau kala itu sebatas nama dan beberapa karakter fisik dan psikis yang nampak indra penglihatan dan tertangkap pendengaran, dari beberapa sumber yang menyampaikan.

Walaupun berbeda tingkat jenjang pendidikan, namun kami sama sama duduk dibangku kelas unggulan. Saya mengenalnya sebagai adik kelas yang lincah dan super aktif, sebagian lagi mengatakan...cerewet (adapun saya dikemudian hari tidak mendapati kenyataan terakhir ini) .

Hal positif lainnya yang menonjol serta sedikit menarik perhatian saya, adalah sesuatu yang nampak menghiasi dirinya, anggapan saya dia lebih utama dari yang lain, karena lebih dahulu dalam menutup aurat dengan jilbab rapi yang bertengger dikepalanya.

Subhanallah, ia mengenakan atribut wajib bagi muslimah itu dimasa jilbab masih sangat minim dikenakan muslimah yang belajar di sekolah negri umum yang tidak berbasis agama. Hal unik lainnya yang sempat terpikir melihat penampilannya, mengapa dia tidak menggunakan saja rok panjang hingga pergelangan kaki? Tapi justru mengenakkan rok sekolah dengan ukuran dibawah lutut dan sepasang kaus kaki panjang menutupi sebagian aurat kebawah lainnya? Mungkinkah karena besar hasrat keinginannya menutup aurat tapi terbatas dalam sarana?

Tidak banyak mungkin yang saya ketahui tentang pribadi dan karekternya kala itu. Sampai kemudian saya lulus dan melanjutkan pendidikan ditingkat SMU. Alhamdulillah masih disekolah tingkat atas yang juga favorit di kota kami. Disinilah Allah kemudian dengan kasih-Nya mengantarkan dan menuntun saya berenang dalam samudera cinta-Nya dengan menganugerahi saya anugerah terindah sepanjang hidup saya. Hidayah, dialah anugerah indah itu. Yang dengannya saya dapat mengecap manisnya iman dan segala nikmat yang saya peroleh kala memasuki gerbang-gerbang kebaikan dalam menuntut ilmu syar'i, beramal, ukhuwah dan dakwah serta sabar diatas semua itu.

Bersua Kembali Dengan Nuansa Yang Lebih Indah

Setahun kemudian Allah mempertemukan kami kembali, karena dia melanjutkan sekolah di SMU dimana saya berada. Saat itu sayapun Alhamdulillah telah berjilbab rapi bahkan dengan ukuran jilbab dua atau tiga kali lipat dari ukuran jilbab yang umum dikenakan teman-teman berjilbab lainnya.

Awalnya saya tidak begitu menyadari gerak dan tingkah lakunya. Belakangan, kira-kira setelah kedatangannya kerumah menemui saya. Barulah saya mengetahui kalau diapun pernah mengikuti daurah yang sama, yang pernah saya ikuti sebelumnya, hanya berbeda tingkatan namun masih dibawah asuhan dan binaan sebuah yayasan yang bergerak dibidang dakwah & pendidikan yang ada dikota kami. Juga belajar dan menimba ilmu agama diluar jam pelajaran sekolah, dari person-person penggerak dakwah dan ust yang sama pula.

Masih jelas ingatan saya, kala ia pertama kali bertandang kerumah nenek. Rumah dimana saya menumpang tinggal selama bersekolah, karena kedua orang tua saya pindah domisili kekampung halaman keduanya.

Salah seorang keluarga dirumah mengabarkan pada saya yang sedang bersantai dan sejenak istirahat melepas penat dikamar, setelah baru saja kembali dari berlibur dikampung halaman ortu, bahwa ada seorang tamu, teman saya yang hendak bersua, menunggu diluar.

Saat mendengar hal itu, hati saya diliputi tanya, mencoba menerka siapa gerangan teman yang datang mengunjungiku? Lelah yang tadinya bersemayam di jasad ini, entah buyar kemana diusir rasa penasaran dan bahagia...? Walau nyatanya tak sebuah namapun yang layak menjawab tanya dihatiku. Karena bagiku mungkin saya bukan person istimewa yang memiliki seseorang yang special sebagai teman dekat, yang kepergianku sesaat akan menghadirkan rindu dihatinya, hingga kedatanganku layak disegerai sambutan meski sebuah sambutan kecil.

Pasal keraguan itu karena semenjak berhijrah menjemput hidayah salah satu konsekuensi yang harus saya terima adalah kehilangan sahabat akrab saya sejak SD dan SMP dahulu yang bersuku thionghoa, dan masa hijrah serta duduk di bangku SMU itu masih singkat tuk mendapat sahabat dekat pengganti.

Padahal sahabat-sahabat dekat thionghoa saya dahulu, merupakan teman bermain dan belajar yang banyak mewarnai hari-hariku. Bukan saja kami, tapi keluarga kamipun saling mengenal, saling kunjung satu dan lainnya, terkadang saya mendapatkan perlakuan istimewa dan khusus dari mereka tidak lebih seperti saudara. Bahkan seorang diantaranya sampai-sampai mengenakkan sepatu yang harus sama dengan sepatu saya, ukuran kaus kaki sama, perhiasan emas dan pakaian keluar yang serupa. Setelah saya berjilbab, sekali kali kami masih bertegur sapa saat berpapasan, tetapi ketika jilbab saya sudah bertambah lebar, kemana mereka? Ataukah saya yang lari dan meninggalkan mereka? Karena mengetahui isyarat rasulullah:

Seseorang itu menurut agama temannya...


Maka hari itu setelah berjilbab rapi, dengan masih membawa rasa penasaran setengah berlari saya keluar kamar, dan …subhanallah jauh dari perkiraan saya, tak menyangka dia yang datang, dan kejutan kecil itu sempat membuat langkah kaki saya terhenti. jasad inipun terpaku, mematung sesaat, kami saling berpandangan diantara sekian meter jarak yang terbentang, dengan melanjutkan langkah perlahan saya menghampirinya.

Dia menanti dan berdiri diteras depan rumah tidak jauh dari sisi pintu dengan tubuh yang tetap menghadap kearah datangnya saya. Entah dari lisan siapa lebih dulu keluar sapaan islam itu, pelukan persaudaraanpun tak terelakkan. Jelas sekali saya dapat membaca bahasa tubuhnya, dia sedikit salah tingkah, kikuk, tapi tidak dapat menyambunyikan kebahagiaan itu, suka yang ia tegaskan dengan ulas senyum tulus yang terukir dari kedua bibir dan pancaran mata kacanya.

Tak terelakkan harupun menyelimuti hatiku, kubuang dan lemparkan jauh perasaan asing yang semula sempat menghinggapi diriku diawal mendapatkan kejutan kecil ini, kuberupaya menyambut kehadirannya dengan bahagia yang tak ingin terkalahkan sebagai apresiasi syukurku. Hari itu adalah sebuah moment sederhana namun sangat berkesan.

Hubungan kami selanjutnya bukan lagi sebatas teman, kakak dan adik kelas, lebih dari itu kami saudara fillah dalam hidup ini, yang saling tolong menolong dalam segala kebaikan, menyemangati satu dan lainnya dalam menuntut ilmu agama, dan berjuang serta berkorban dalam perjuangan dakwah.

Putik Cinta Bersemi

Tidak berapa lama berselang setelah hari itu, adalah disuatu hari yang cerah dan indah, disebuah mushollah kecil disudut sekolah, Allah dan makhluk-Nya disekitar kami saat itu menjadi saksi, ketika pintu musholah putri terkuak perlahan, dia menemui saya yang seringkali bersendiri dijam istirahat atau pelajaran kosong disana.

Usai salam sapa, waktu terasa sangat singkat saat saya mendapati ia sudah duduk dihadapan saya, sedikit terkejut tapi saya membiarkan ketika tangannya meraih dan menarik tanganku dengan lembut, selanjutnya diletakkan didepan dadanya sembari dia berucap:

“Kakak…Uhibbuki Fillah” (Kakak…Saya mencintaimu karena Allah)


Ah…mengenang masa itu, saya tersenyum dan pandangan saya mulai memanas, rasanya bulir-bulir bening mengkristal, berdesak-desakkan hendak tumpah dari kedua sudut mataku.

Ya Allah…. Dan gerimispun tak terhindarkan. Itulah ungkapan cinta karena Allah yang pertama kali saya terima sepanjang hidup saya, dan akan terus saya kenang insyaAllah selamanya tidak saja melalui catatan ini tapi juga dihatiku.

Hal yang paling membahagiakan pula kala itu adalah hadirnya sangka baik saya, ungkapan saudariku tersebut adalah kabar gembira Allah...

“Apabila Allah telah mencintai seorang hamba maka Dia menyerukan kepada Malaikat Jibril bahwa sesungguhnya Allah mencintai fulan maka cintailah dia. Maka Jibril pun mencintainya, kemudian Jibril pun mengumumkan kepada penghuni langit, bahwa sesungguhnya Allah mencintai fulan maka cintailah dia. Maka para penduduk langitpun mencintainya. Kemudian dijadikanlah sambutan/penerimaan bagi orang itu di bumi.” HR. Bukhari


Maka sayapun menyambut ungkapan saudariku dengan kalimat yang juga dianjurkan dalam sebuah hadits:

“Ahabbakalladzi ahbabtani lahu” (Semoga Allah mencintaimu sebagaimana Dia menjadikanmu mencintaiku karena-Nya)


Ada yang meresap dihati ini, sesuatu yang lebih nikmat dari mengecapnya dengan lisan, adakah ia...

Ada tiga hal, yang jika tiga hal itu ada pada seseorang, maka dia akan merasakan manisnya iman. (Yaitu); Allah dan Rasul-Nya lebih dia cintai daripada selain keduanya; Mencintai seseorang, dia tidak mencintainya kecuali karena Allah; Benci untuk kembali kepada kekufuran setelah Allah menyelamatkan darinya, sebagaimana bencinya jika dicampakkan ke dalam api neraka. (Muttafaq 'alaih)


Harapku bertambah tambah, bagaimanakah mngekspresikan lagi syukur ini selain dengan ungkap hamdalah dan menjaga ukhuwah ini?

Apakah Mimpi Itu Kabar Gembira Dari Ar-Rahman Untuknya?

Dikemudian hari kami semakin akrab, seolah dialah anugerah, lebih dari sahabat pengganti dari teman-teman dekat saya yang dulu non muslim, karena dia adalah saudari fillah:

“Barangsiapa yang meninggalkan sesuatu karena Allah, maka Allah akan menggantikannya dengan sesuatu yang lebih baik darinya.”


Keakraban kami itulah yang mungkin tidak membuat ia segan untuk kemudian sering curhat, dan diantara sebuah cerita yang berkesan yang pernah dituturkannya padaku adalah pengalaman yang dilaluinya disuatu malam dalam tidurnya…

Cerita yang diawalinya dengan kalimat tanya yang mengeryitkan dahi dan alis tebalku?

“kakak…kenal akh fulan (sambil menyebut sebuah nama milik seorang ikhwa yang merupakan kakak kelas kami berdua)


Walau dihati saya sempat terbetik tanya, mengapa ada akhwaat menanyakan seorang ikhwa? Namun saya mengedepankan sangka baik. Bukan serta merta menjawab pertanyaannya tapi saya mengajukan kalimat tanya lain demi mengejar alasan keluarnya pertanyaan pertama tadi dari lisannya.

“Mengapa menanyakannya ?”


Meluncurlah dari lisannya bahwa dia bermimpi diselamatkan sang ikhwa.

Wah…bagaimana historis ceritanya? Kejarku.

Namun ia sendiri atau saya yang mungkin terlupa, kira-kira tidak begitu jelas tapi demikian kesimpulan mimpi itu… akh fulan menyelamatkannya…

Kala itu tak seorangpun diantara kami memikirkan apa tafsir mimpi tersebut. Dibetik hati saya hanya berharap mimpi itu semoga satu kabar gembira dari-Nya. Kesibukan lain yang mungkin mempersingkat masa itu, juga untuk membicarakannya kembali.

Karena telah memperoleh ilmu dan mengamalkan perintah menundukkan pandangan pada lawan jenis yang bukan mahram, maka sayapun tidak punya gambaran jelas bagaimana tentang akh fulan, bagaimana face depannya tidak tergambar dalam benakku, tapi karena beberapa tahun berinteraksi dalam kehidupan ikhtilat/ campur baur, walau diminimalisir, selain karena berada pada lingkup sekolah umum dan sesekali pada keadaan yang darurat saling membantu dalam dakwah, tidak bisa dipungkiri saya mengenal sepak terjang akh fulan dari sisi lain, juga pada suara beliau.

Teringat pertanyaannya beberapa waktu itulah, saya kira pernah suatu waktu, secara spontan saat bubar jam pelajaran sekolah menuju pulang, saya sempat menunjukkan akh fulan dari belakang punggung dan jarak jauh padanya. Mungkin keliru tapi itu terjadi spontanitas, dan saya tahu walau saya tidak menunjukkan orangnya mungkin kedepan diapun akan mengetahui dengan sendirinya karena sekali lagi kondisi yang saya sebutkan sebelumnya.

Haripun berlalu, dan tahun-tahunpun berganti, mimpinya terpendam jauh, tenggelam dalam memori terbatas saya sebagai manusia penuh kekurangan.

Merantau Mencari Ilmu & Suka Cita Dalam Ujian-Nya

Setelah lulus SMU, Saya lebih dulu melanjutkan studi disebuah pesanteren di Makassar, sedangkan dia menyusul setahun kemudian dikota yang sama tapi melanjutkan pendidikan di salah satu universitas suasta. Kesibukan kami masing-masing , terpisah jarak dan berbagai keterbatasan lainnya mungkin sedikit menjadikan ukhuwah kami tidak sedekat dahulu, namun tetap terjalin baik.

Sesekali kami bertemu, bermalam bersama dipondoknya, saling mengirim kabar via sms atau telpon-telponan. Tetap berbagi cerita, curhat, tentang kuliahnya, dakwah kampus dan ukhuwah bersama akhwaat.

Alhamdulillah ditahun akhir masa saya dipesantren, saya melengkapi seperdua diin. Dan selanjutnya menyusul pula saudari-saudari saya yang lain, satu persatu akhwaat yang dulu setingkat saya atau setingkat dia dalam masa sekolah, tholabul ‘ilm syar’i dan perjuangan dakwah meninggalkan masa lajang.

Sampai ketika saya di Jakarta, dan saat di Madinah, saya selalu tidak ingin kehilangan kabar beritanya, dan saya tahu dia salah satu saudari saya yang berlika-liku menempuh jalan meraih jodohnya. Dia menyampaikan hal itu terkadang saat kami chatting bareng. Sesekali dia meminta nasehat akan hal tersebut.

Belajar dari pengalaman, saya bisa menyelami apa yang ia rasakan padahal penantian saya akan jodoh mungkin tidak terlalu rumit dan berliku seperti yang ia temui. Rasa serba salahnya pula ketika oarang tuanyapun selalu menanyakan hal tersebut dapat saya mengerti, bagaimana tidak ortu saya dahulu sangat mengkhawatiri anak satu-satunya wanita jauh dari jodoh karena melihat saya membatasi pergaulan dengan lawan jenis, mengenakan tidak saja jilbab besar dan jubah gelap, tapi juga bercadar.

Sebagai saudara saya hanya bisa memberi nasehat biasa yang pasti sudah sering kali ia dengar dan baca, apa yang saya lakukan hanya kembali mengingatkan dirinya, menenangkan gundah yang mengusik dirinya, menemani dan mendengar. Saya pikir itulah yang ia butuhkan. Dan upaya saya tentu berusaha pula untuk mencoba mewasilahi kebaikan itu, jika ada kesmpatan tuk itu. Dan saya selalu berharap memiliki kesempatan itu....

Kesempatan Itupun Hadir Dibulan Terbaik

Setelah setahun keberadaan saya di Madinah, pada musim haji beberapa tahun yang lalu, Allah mengundang saya sekeluarga menerima panggilan-Nya tuk berkunjung dan beribadah di rumah-Nya yang mulia dan agung.

Saya mendengar kabar dari suami bahwa ikut pula dalam rombongan haji kami dua orang ikhwa yang sedang pendidikan di salah satu negara dari benua Afrika. Saya tahu siapa kedua orang tersebut, karena infonya sering saya dengar melalui suami, juga surat mereka kerap kami terima tidak saja saat kami di Indonesia tapi juga setelah di Madinah.

Dan salah satu diantara kedua orang ikhwa itu adalah kakak kelas saya saat SMU, akh fulan…ya akh fulan... tiba-tiba mengingat nama dan orangnya atas izin Allah kesadaran seolah menampar saya, memori yang terpendam sekian lama menari-nari dikepala ini, mimpi itu mengusik, tak pernah ada tafsir yang tepat yang dulu kami temukan? Mulailah saya coba mengait-ngaitkan antara dia yang jatuh bangun menata sangka baik pada Allah akan ujian menanti jodoh, kekhawatiran jatuh pada fitnah, dan desakan orang tuanya yang selalu menanyakan hal itu. Sedang akh fulan juga sampai waktu itu masih melajang, dan dialah, orang yang menjadi 'pahlawan' yang menjadi 'penyelamat' dalam mimpi saudariku tersebut. Tiba-tiba ada getaran dihati saya, harapan, sangka baik, keriangan. Seolah melompat dari perenungan, terburu-buru saya mencari suami, tak sabar tuk mengabarkan hal ini.

Oh ya, benarkah ada mimpi seperti itu? Suami sedikit kaget, saya tau ada takjub pula dari raut wajahnya, yang telat saya ketahui adalah suami lebih terburu-buru dari saya menginginkan kebaikan itu sampai pada saudaranya. Upss...setelah disuatu hari mengabarkan pada saya, telah menyampaikan hal itu pada al akh.

Kakak...(sapa saya pada suami) kenapa tidak bilang saya dulu? Bukannya baiknya tanya dulu ke akhwaatnya? Bagaimana kalau dia tidak berkenan mimipi itu sampaai pada sang ikhwa? Mungkin karena malu atau lainnya? Bagaimana kalau dia marah? Dia lupa punya mimpi itu?


Jadilah hari itu saya istri yang cerewet? Tapi saya juga tak sabar untuk kemudian bertanya...

Bagaimana ekspresi dan tanggapan ikhwanya?


Alhamdulillah tanggapan akh fulanpun positif dan menyerahkan hal itu pada kemudahan yang diberikan Allah, insyaAllah setelah usai masa S2 pendidikannya, tuturnya kali itu.

Huff...gembira mendengarnya tapi saya juga akhirnya sedikit gugup, khawatir jika dengan kemungkinan-kemungkinan buruk yang telah saya pikirkan jika kemudian dia saudariku mengetahui mimpinya telah disampaikan ke sang ikhwa sebelum dipinta izin tuk itu.

Bagaimanapun saya mencoba mengambil resiko semua itu, saya berharap pada Allah kemudahan jika memeng niat saya baik, insyaAllah dia akan menerima penjelasan saya atau paling tidak menerima maaf saya.

Maka mulailah saya berupaya menyampaikan maksud baik kami padanya, tentu tidak langsung pada inti tapi diawali basa basi yang juga bagian terpenting yaitu dengan mengirimkan padanya sebuah sms panjang, yang saya awali dengan mengajak ia bernostalgia dahulu, menanyakan padanya masihkah ia ingat masa indah sepenggal ukhuwah yang pernah kami lalui seperti cerita saya diatas, ternyata ia mengiyakan, dan memberi jawaban yang menentramkan hati ini.

Selanjutnya sayapun mengingatkan kembali mimpinya, dan ketika iya mengiyakan masih mengingatnya pula, saya kejar dengan sebuah tanya, adakah dia mengizinkan kami mencoba menjadikan mimpi itu sebuah kenyataan dengan izin Allah? Oh, hati saya bersorak dengan penuh syukur ketika jawabannya adalah isyarat lampu hijau.

Pada waktu yang lain, sayapun jujur padanya bahwa suami telah mendahului permohonan izinku sebelumnya, tuk menyampaikan mimpi itu pada akh fulan… Alhamdulillah diapun ridho dan menerima walau teriakan kecil dan ungkapan malu sempat terdengar diujung telpon.

Karena setelah masa itu belum ada khitbah, upaya dari ust ust dan ummahat lain tuk mewasilahi terlaksananya kebaikan itu juga disampaikannya pada saya, selalu ada. Mungkin saja belum jodoh sehingga berbagai kendala selalu menjadi penghambat dan menutup proses itu. Tentu ini ujian yang tidak mudah...

Mimpi Yang Mewujud Nyata

Saat harapan telah pada puncaknya, saat pinta semakin gencar, empati saudari, kasih sayang teramat sayangpun dari ortu terundang tuk semua menengadah tangan, dan Allah menjadi begitu sangat dekat, pengkabulan harapan pada-Nya menjadi kebutuhan semua .

Hanya selang beberapa waktu mendengar kepulangan akh fulan walau belum selesai S2 tapi dalam tujuan sebagai syarat kelulusan tersebut, kami kembali mengingatkan janji beliau. Mungkin sudah niat pula maka kedatangannya, ibarat kata pepatah sambil menyelam minum air, sekali mendayung dua tiga pulau terlampaui.

Allahmdulillah hari ini saudariku melangsungkan aqad, mengikat mitsaqan ghaliza (perjanjian yang kokoh). Melalui walimah syar'i. Bersama akh fulan, yang tak lain seorang ikhwa yang namanya hadir lebih dari 10 tahun lalu dalam mimpi indahnya, dimalam yang menjadi nikmat hamba-Nya tuk melepas penat dan dijadikan waktu untuk beristirahat.

Janji Allah itu benar:

Wanita-wanita yang baik adalah untuk laki-laki yang baik dan laki-laki yang baik adalah untuk wanita-wanita yang baik (pula). (QS An Nur:26)


Hati ini bergetar, sekenario Allah yang indah dihadapan orang yang mau mengambil pelajaran. Bahagia ketika dapat menyelami hikmah dibalik cobaan kecil-Nya, memperoleh nikmat yang menjadi harapan lebih sepanjang waktu...

****



Teruntuk saudariku...maafkan diri ini yang karena berbagai keterbatasan tidak dapat hadir dihari bahagiamu. Teriring doa'

Baarakallahu laka wa baaraka 'alaika wa jama'a baina kumaa fii khair.

****

Goresan ini adalah satu diantara wujud syukur hamba atas segala makna cinta yang terangkum.

Disalah satu sudut kamar istana kecilku.

Madinah 01/08/2010
Like the Post? Do share with your Friends.

4 komentar:

Assalamu Alaikum.

Terimaksih telah menyempatkan untuk membaca artikel kami.
Silahkan berikan apresiasi anda, dengan etika yang baik dan cerdas. Buktikan bahwa anda insan beradab dan terpelajar.
Tolong Jangan Membuat Link Hidup Untuk Promosi Produk Anda ya!

(◕‿-) TERIMA KASIH SUDAH BERKUNJUNG (-‿◕)